OLENAS.ID – Sumbu Filosofi Yogyakarta, yang menghubungkan Gunung Merapi dengan Pantai Selatan, terdiri atas Tugu Jogja (Tugu Golong Giling), Keraton, dan Panggung Krapyak, telah ditetapkan oleh Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia.
Penetapan ini dilakukan dalam sidang Luar Biasa ke-45 Komite Warisan Dunia di Arab Saudi pada 18 September 2023. Pengakuan UNESCO tersebut didasarkan keberadaan arti penting dari Sumbu Filosofi Yogyakarta secara Universal.
Melansir dari website kratonjogja.id, salah satu yang menjadi bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah Keraton Yogyakarta. Pembangunan keraton Yogyakarta berdasarkan konsepsi Jawa, mengacu pada bentang alam yang ada seperti gunung, laut, sungai, serta daratan.
Konsep, Hamemayu Hayuning Bawono, merupakan prinsip utama yang dijadikan dasar pembangunan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Konsep tersebut bermakna “Membuat alam menjadi indah, selamat, dan lestari.
Konsep tersebut diterapkan dengan Laut Selatan dan Gunung Merapi sebagai poros. Lokasi pembangunan Keraton juga dipilih di dekat dengan sumber mata air, yaitu Umbul Pacethokan. Kontur tanah di wilayah bangunan keraton juga lebih tinggi, di atas punggung kura-kura, dengan diapit oleh enam sungai yang terbagi menjadi 2 yaitu 3 di timuer dan 3 di barat.
Pembagian tersebut menjadikan Yogyakarta bebas dari banjir. Berbagai tanaman juga di tanam di sekitar keraton sebagai simbol atau lambang kehidupan.
Baca Juga: Tahun Ini Kemensetneg dan Setkab Dapat Kuota 90 Formasi Jabatan
Sumbu Filosofi Yogyakarta memiliki makna atau filolosi yang menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia berdasarkan konsepsi Sangkan Paraning Dumadi. Khusus bagi Sultan, poros ini memiliki makna berbeda. Arahnya bukan dari tugu ke keraton, melainkan dari ekraton ke tugu.
Begitu juga sebaliknya, dari keraton menuju ke Panggung Krapyak. Saat Sultan duduk di siniwaka di Bangsal Manguntur Tangkil yang berada di Siti Hinggil Lor, beliau akan bermeditasi dengan arah pandang ke Tugu Golong Giling. Tugu tersebut bermakna, manunggaling Kawula Gusti, yaitu meleburnya rakyat dan sultan, sesrta manusia dan tuhannya.
Poros dari keraton hingga tugu, juga mencerminakan kewajiban Sultan untuk emlindungi rakyat. Serta memfasilitasi masyarakat agar hidup lebih baik dengan menyediakan materi dan pengayoman spiritual.***










