OLENAS.ID – Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Pemda DIY melalui Tim Ekskavasi Situs Keputren Kawasan Cagar Budaya (KCB) Kerto-Pleret, menemukan artefak fragmen gerabah. Artefak yang di duga wadah air terbuka tersebut memiliki motif hias dan ciri khas era Kerajaan Majapahit.
Menariknya, proses eskavasi Situs Keputren dilakukan di lahan pribadi milik warga, yang telah dilakukan sejak 10 Agustus 2023 hingga 7 September 2023. Usai ekskavasi, tim melakukan penutupan kembali situs. Sementara artefak fragmen yang ditemukan di data dan diserahkan kepada Disbud DIY untuk dilakukan kegiatan pelestarian dan pengamanan.
Fragmen gerabah wadah air tanpa tutup berukir peninggalan Majapahit pada abad 13 tersebut ditemukan di salah satu kotak area ekskavasi. Lokasi tersebut diduga merupakan saluran air kuno berasal dari abad 17 atau era Kerajaan Mataram Islam yang saat ini dalam kondisi tidak utuh dan hanya berbentuk kepingan.
Baca Juga: TPSR 3R Gerbang Mawar Asri, Sarana Swadaya Warga Bangunharjo Mengolah Sampah
Meski telah hancur, karakter motif hias berupa ukiran yang bercirikan era Majapahit kuno masih nampak jelas dan menonjol di artefak tersebut. Wadah air terbuka kuno ini sendiri diperkirakan memiliki diameter sekitar 50 cm yang biasa digunakan kalangan bangsawan kala itu.
Peneliti Pusat Riset Arkeologi, Prasejarah dan Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hery Priswanto mengatakan, ekskavasi yang di lakukan di Situs Keputren merupakan rangkaian akhir dari penelitian yang dilakukan Disbud DIY di 2023. Penelitian sebelumnya telah dilaksanakan Situs Kedaton dan Situs Kerto.
Tim Ekskavasi Keputren menemukan beberapa data arkeologi yang signifikan. Salah satunya arsitektur monumental berupa struktur bata, dengan beberapa strukturnya menggunakan batu andesit yang berasal dari batuan candi berornamen. Temuan serupa pernah dijumpai di Situs Kerto.
Baca Juga: Jessica Mila Umumkan Kabar Kehamilan
Tim Ekskavasi Situs Keputren juga mendapatkan temuan dua struktur, pertama struktur pondasi dari sebuah tembok yang membujur dari timur ke barat dengan lebar kurang lebih 70 cm pondasinya berbahan bata. Kedua, struktur yang diduga sebagai saluran air, dengan orientasi utara-selatan.
Pada struktur saluran air inilah ditemukan artefak fragmen kuno, berupa wadah-wadah atau tempat air yang sudah tidak utuh. Wadah-wadah air ini sangat bervariasi, ada yang tertutup dan terbuka. Wadah air yang tertutup banyak ditemukan berupa pecahan dari kendi, kemudian wadah air terbuka dengan ukiran yang ditempel.
“Yang menarik selama saya melakukan penelitian di Pleret sejak 2007 lalu, temuan ini baru sekali berupa wadah air terbuka dengan ornamen yang mirip dengan ornamen yang saya jumpai di Trowulan Mojokerto. Sehingga ada kemiripan dengan era Kerajaan Majapahit. Artinya keberadaan artefak ini dimiliki bukan orang sembarangan. Keputren sendiri merupakan sebuah pemukiman Pleret yang digunakan para putri raja dan selirnya,” jelas Hery, selaku Koordinator Lapangan (Korlap) Tim Ekskavasi Situs Keputren, seperti dikutip jogjaprov.go.id.
Baca Juga: 5 Tips dan Trik Menulis Esai yang Mengesankan Dosen
Area lahan yang digunakan sebagai lokasi ekskavasi merupakan lahan warga bernama Parjinem, dan belum dibebaskan oleh Disbud DIY hingga saat ini. Tim Ekskavasi Situs Keputren hanya diberikan kesempatan untuk melakukan penelitian tetapi setelah selesai ditutup atau ditimbun tanah kembali.
Alasan penutupan demi keamanan dan pelestarian situs, karena tidak bisa dibiarkan terbuka. “Harapan kami, jika lahan situs ini sudah dibebaskan akan menambah satu klaster lagi, yang ada di KCB Kerto-Pleret seperti klaster Masjid Kauman, Klaster Kerto, Klaster Kedaton dan kemungkinan bisa menambah Klaster Keputren. Di Pleret ini juga dijumpai cepuri beteng dalam dan ternyata keberadaan situs Keputren ini berada di sisi utara dari cepuri,” imbuh Hery.
Hery mengungkapkan, awal mula ekskavasi situs Keputren dilakukan di 1980-an. Seusai ada warga yang mengangkat tiga batu andesit dan dijadikan taman di area yang menjadi lokasi penelitian saat ini. Selain pengambilan batu andesit, banyak warga menggali batu bata merah.
Dengan kondisi tersebut, direkomendasikan agar batu andesit tersebut dikembalikan ke tempat semula. Selanjutnya jika situs tersebut belum diambil alih dinas, maka perlu diberikan papan informasi bahwa di lokasi tersebut pernah dilakukan penelitian dengan hasil struktur dan data artefak supaya diketahui masyarakat.***










