OLENAS.ID – Kasus pencabulan oleh pengaruh pondok pesantren (ponpes) kembali terkuak. Kali ini terjadi di Desa Wonosegoro Bandar, Batang, Jawa Tengah, dengan Wildan Mashuri Amin (57) sebagai tersangka.
Pengurus ponpes itu telah mencabuli 14 santriwatinya yang masih di bawah umur.
Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Ahmad Luthfi, bersama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Pj Bupati Batang Lani Dwi Rejeki turun langsung saat pengungkapan kasus pencabulan pondok pesantren di Mapolres Batang, Jawa Tengah, Selasa, 11 April 2023.
Ganjar tampak emosi saat menanyai Wildan yang melakukan aksi bejatnya pada 2019 sampai tahun 2023.
“Kenapa kamu tega melakukan itu. Apalagi korbanmu itu masih anak-anak. Kamu tidak sadar bahwa itu salah. Jujur saja sekarang, berapa santri yang jadi korbanmu,” tanya Ganjar dengan nada tinggi.
Diduga, jumlah korban masih akan bertambah karena aksi itu sudah dilakukan sejak 2019.
Kapolda Jateng Irjen, Ahmad Luthfi mengakui kasus ini menjadi perhatian khusus sebab semua korban di bawah umur, ada satu korban yang saat ini sudah berusia dewasa.
Dari 14 santriwati yang telah melaporkan, hasil visum et repertumnya menyatakan delapan selaput daranya robek dan enam di antaranya masih utuh. Saat ini polisi masih terus mengembangkan kasus tersebut.
Seolah-olah menikah siri
Modus Wildan menjalankan aksinya dengan merayu korban agar mau disetubuhi adalah mengucapkan ijab kabul, yang seolah-olah menikah siri. Namun tak ada saksi, hanya bersalaman sebelum mengucapkan ijab kabul.
Wildan menyebut, korban akan mendapatkan karomah atau berkah keturunan.
Setelah menyetubuhi korban, tersangka memberi uang jajan dan mengancam agar tidak memberitahu kepada orang lain. Sebab perbuatan yang terjadi sah sebagai suami isteri.
“Para korban ini dibilang akan mendapat karomah serta buang sial, lalu juga diberikan sangu atau jajan dan tidak boleh lapor sudah sah sebagai suami istri ke orangtua,” ujar Kapolda Jateng.
Dalam kasus ini polisi sudah menyita sejumlah barang bukti mulai dari karpet, beberapa pakaian, hingga kasur. Olah TKP juga sudah dilakukan dengan bukti permulaan yang cukup.
Pihaknya menerapkan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak untuk menjerat tersangka. Ancaman hukuman maksimal 15 tahun.
“Kalau berulang-ulang bisa ditambah sepertiga masa hukuman maksimal 20 tahun, apalagi mereka tenaga pengajar,” jelasnya.***










