OLENAS.ID – Penggunaan nama Belasting Rijder untuk klub yang menaungi pegawai dan eks pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga menjadi sorotan.
Entah kurang mengerti makna Belasting Rijder dari segi arti dan sejarah, atau apa, tapi nama klub itu terkait dengan sejarah bangsa ini, terutama di Sumatra Barat.
Menurut sejarahwan, Bonnie Triyana, nama klub itu norak. Ia turut menjelaskan arti kata Belasting Rijder
“Norak juga sih. Lagipula ‘Belasting Rijder’ itu bias juga diartikan dalam bahasa Belanda-nya ‘penunggang pajak’. Mungkin maksudnya ‘Belastingdienst Motor Club’ atau ‘Belastingdiesnt Motorrijders Club’. Etapi udah benar kali deng maksud mereka ‘nunggangin pajak’ (orang).” cuit @BonnieTriyana.
Sedangkan akun @ubegebe1 menulis : Jujur, gue agak kesel kata belasting dipakai buat komunitas riding @DitjenPajakRI. Ga sensitif sejarah
Dari beberapa sumber, disebutkan tentang pelaksanaan peraturan pajak (Incomstan Belasting) yang diberlakukan Belanda pada 1 Maret 1908, sebagai pengganti tanaman kopi dan kerja paksa.
Saat itu pajak yang diterapkan semakin banyak. Mulai dari pajak kepala (hoofd), pemasukan barang (inkomsten), rodi (hedendisten), tanah (landrente), keuntungan (wins), rumah tangga (meubels), penyembelihan (slach), tembakau (tabak), dan pajak rumah adat (huizen).
Pajak yang banyak itu membuat masyarakat Sumatera Barat keberatan. Kemarahan semakin memuncak karena pemerintah Hindia Belanda menggunakan kekuatan militer dalam penarikan pajak tersebut.
Masyarakat Minangkabau khususnya di daerah Kamang, Kabupaten Agam menentang pembayaran belasting tersebut. Sehingga masyarakat secara diam-diam melengkapi diri dengan senjata tajam dan keterampilan bela diri.
Senjata yang dikumpulkan seperti, ruduh, kalewang, pedang, pisau, tombak, dan lain sebagainya.
Mereka mengirimkan tentara-tentara ke setiap wilayah agar tidak ada orang yang memprotes kebijakan pajak baru tersebut. Parahnya lagi tentara-tentara itu kerap mabuk-mabukan, berjudi, dan memperkosa perempuan.
Dari situlah pada 16 Juni 1908 timbul perlawanan yang dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Rasyid Bagindo. Dalam serangan yang dia pimpin sebanyak 53 dari 55 tentara Hindia Belanda tewas. Padahal saat itu mereka hanya bermodalkan parang.
Peristiwa tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda marah besar. Mereka langsung melakukan serangan balasan ke wilayah Manggopo, Sumatera Barat, wilayah yang sekarang masuk daerah Kabupaten Agam itu langsung dibumihanguskan.
Warganya juga disiksa agar buka suara soal keberadaan Siti Manggopoh yang memang menjalankan perang gerilya. Tidak tahan melihat saudara-saudaranya terus menderita, Siti Manggopoh akhirnya menyerahkan diri dengan syarat tak ada lagi warga Manggopoh yang disakiti.
Dalam buku Siti Manggopoh yang ditulis Abel Tasman disebutkan Siti Manggopoh akhirnya dipenjara dan suaminya Rasyid Bagindo dibuang ke Manado. Saat persidangan Siti Manggopoh ditanya apakah menyesal karena melawan Belanda.
“Saya menyesal karena tidak semua Belanda ada di markas itu terbunuh,” ujar Siti Manggopoh.***










