OLENAS.ID – Selama ini dimana-mana maneken atau patung peraga adalah boneka manusia seluruh tubuh, atau separuh badan, yang dipakai sebagai model untuk memperagakan busana.
Boneka ini sering dipamerkan di etalase toko atau butik, juga dipakai untuk berjualan secara online. Maneken juga disebut boneka etalase, yang menampilkan pakain model terbaru.
Tapi hal itu berbeda di mata Taliban yang saat menguasai Afghanistan. Maneken diklaim melanggaran aturan Islam.
Maka Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan Afghanistan lalu mengeluarkan perintah untuk menyingkirkan maneken, atau setidaknya dipajang tanpa kepala.
Menurut media lokal, sebagaimana dikabarkan Associated Press, aturan tersebut digagas oleh Kementerian Kebajikan, dengan mengacu pada interpretasi terhadap Syariat Islam yang melarang adanya patung atau gambar manusia.
Kehadiran mereka dianggap berpotensi menjadi berhala yang bisa disembah manusia.
Para pemilik toko jelas keberatan dengan larangan itu. Apalagi perekonomian di Kabul sedang melesu pascapendudukan Taliban.
“Beli gaun pernikahan, gaun malam, atau baju tradisional tidak lagi menjadi prioritas. Orang lebih memikirkan urusan perut dan cara bertahan hidup,” ujar Bashir, seorang pedagang pakaian di Kabul.
Akhirnya, pemerintahan Taliban melonggarkan aturan. Para pemilik toko tetap diperkenankan memajang maneken asalkan wajahnya tak terlihat.
Para pemilik toko lalu menyiasati dengan berbagai cara. Ada yang ditutup dengan kain serupa dengan kostum, lainnya menggunakan bungkus makanan berbahan aluminium.
Efek mengkilap dari lembaran tipis tersebut diyakininya dapat menarik perhatian orang yang lewat di depan tokonya, begitu menurut Hakim.
Aziz, seorang pemilik toko baju lainnya, tak habis pikir ada aturan yang mengharamkan sebuah maneken.
“Semua orang juga tahu fungsi maneken dan tidak ada yang mau menyembahnya. Di semua negara Muslim, maneken hanya dipakai untuk memajang pakaian,” tegasnya.
“Saya seperti melihat diri saya di balik jendela toko-toko ini, seorang perempuan Afghanistan yang tak dijamin hak-haknya,” ujar seorang konsumen.***










