OLENAS.ID – Gerebeg Sudiro Solo 2023 kembali digelar selama dua dua tahun karena pandemi. Minggu, 15 Januari 2023, di Pasar Gede, kirab akulturasi budaya yang menjadi bagian dari perayaan Tahun Baru Imlek 2574 akhirnya dilaksanakan.
Kerinduan warga Solo merayakan karnaval budaya Gerebeg Sudiro tuntas sudah. Suasana mendung dan diselingi hujan rintik di kawasan Pasar Gede tak menyurutkan antusiasme ribuan warga menyaksikan kirab yang dihadiri Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Selain itu Gerebeg Sudiro dihadiri perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Ketua Pengadilan Negeri Solo, Ketua DPRD, Kepala Disbudpar Jateng dan Kota Solo, Kapolresta Solo, perwakilan Sekda, Dandim dan jajaran lainnya. Ada pula Ketua DPC PDIP yang merupakan mantan wali kota, FX Hadi Rudiyatmo.
Baca Juga: Nyalon Ketum PSSI, Ini Janji Erick Thohir untuk Sepak Bola Nasional
Gibran melepas kirab budaya yang merupakan tradisi warga kampung Sudiroprajan dengan memukul genderang khas Tionghoa. Sedangkan Wakil Wali Kota Solo, Teguh Prakosa, melepas iring-iringan kirab yang berangkat dari Tugu Jam depan Pasar Gede.
Kirab yang diikuti hampir 2.000 peserta dengan 56 kelompok kesenian menampilkan arak-arakan gunungan kue keranjang dan aneka penganan buatan masyarakat Sudiroprajan.
Gunungan pun dibikin menarik karena ada yang berbentuk miniatur Stadion Manahan dan Gedung Joeang 45. Gunungan yang tersusun dari 4.000 kue keranjang dalam tradisi Jawa merupakan lambang kesuburan.
Rute kirab Gerebeg Sudiro sejauh 1,5 km yang melintas depan Balai Kota Solo menuju kawasan Pecinan Kreteg Gantung dan melewati jalanan di Kelurahan Sudiroprajan, sampai finis kembali di kawasan Pasar Gede. Di garis finis, gunungan dari ribuan kue keranjang akan menjadi rebutan warga.
Baca Juga: Pesan Dari Kostum Miss Ukraina yang Dikerjakan Selama Empat Bulan di Bawah Cahaya Lilin
Ketua Panitia Arga Dwi Setyawan menuturkan Geebeg Sudiro 2023 mengambil tema Merajut Harmoni dalam Kebhinekaan. Selain kirab yang menyambut Imlek diadakan doa bersama Umbul Mantram di lokasi yang disebut Bok Teko.
“Gerebeg Sudiro merupakan ritual budaya untuk menjunjung nasionalisme, pluralisme, kebhinekaan dan interaksi sosial khususnya di Surakarta. Gerebeg juga merupakan bentuk sinergi budaya Jawa dan Tionghoa. Jadi, event ini mendukung program-program Solo sebagai Kota Budaya dan Pariwisata,” kata Arga.
Gerebeg Sudiro Digagas Tiga Warga
Sejarah pagelaran Gerebeg Sudiro digagas tiga warga Kampung Sudiroprajan, yaitu Oei Beng Kie, Sarjono Lelono Putro dan Kamajaya. Kampung Sudiroprajan memang dihuni masyarakat Jawa dan Tionghoa.
Gerebeg digelar untuk kali pertama pada tahun baru Imlek 2007. Dalam perkembangannya, Gerebeg Sudiro mendapat dukungan enam perkumpulan suku Tionghoa Kota Solo, yakni Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), Ho Hap, Himpunan Fuqing, Perhakhas, Perwagas, dan Makin.
Di perkampungan Sudiroprajan, kedua suku itu sudah menyatu dan hidup berdampingan selama lebih dari dua abad sejak Keraton Surakarta sehingga terjadi akulturasi budaya. Akulturasi itu berjalan alamiah. Apalagi di antara mereka itu kerap terjadi perkawinan campuran.
Di kawasan itu terdapat Pasar Gede Hardjonagoro. Pasar tradisional terbesar di Kota Solo yang sudah berdiri sejak 1930. Di kawasan itu juga berdiri tempat ibadah, Klenteng Tien Kok Sie yang juga dikenal sebagai Vihara Avalokiteswara menjadi tempat ibadah Tridharma (Taoisme, Khonghucu, dan Budha).
Klenteng itu sudah digunakan sebagai tempat ibadah sejak akhir 1700-an. Klenteng itu kemudian ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Keputusan Wali Kota Surakarta pada 2014.***










