OLENAS.ID – Perputaran dana dari mahasiswa di DI Yogyakarta sangat besar. Selama pandemi dalam dua tahun terakhir, biaya hidup mahasiswa setiap bulannya Rp 1,7 juta atau Rp 21 juta setiap tahunnya.
Berdasarkan data Susenas BPS 2021 untuk survei biaya pendidikan, terdapat 400.000 mahasiswa yang tersebar di 135 perguruan tinggi di DI Yogyakarta.
“Padahal penduduk DIY tercatat sebanyak 3,8 juta. Artinya, 10 persen lebih penduduk DIY adalah kalangan mahasiswa. Tentu proporsi mereka yang signifikan akan berpengaruh secara ekonomi di DIY,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Sugeng Arianto, Kamis (5/1/2022).
Sedangkan selama dua tahun terakhir penyelenggara pendidikan tinggi menahan diri untuk tidak menaikkan biaya pendidikan.
Dengan biaya hidup Rp1,7 juta per bulan dan terdapat 400.000 mahasiswa, maka perputaran dana setiap bulannya mencapai Rp 680 miliar.
Jumlah perputaran dana tersebut setiap bulannya itu bisa naik signifikan, mengingat asumsi Bank Indonesia dimana rata-rata konsumsi mahasiswa sebelum pandemi berkisar pada Rp3 juta per bulan.
“Ini nilai rata-rata biaya hidup ya, bisa lebih tinggi, terdistribusi ke banyak sektor. Ini potensi besar yang perlu dirawat,” kata Sugeng.
Ke depannya pergerakan dan pertumbuhan ekonomi di DIY akan tetap ditopang oleh pariwisata dan pendidikan. Apalagi, kampus-kampus di DIY tersebar di banyak titik sehingga pertumbuhan ekonomi diharapkan tidak tumbuh hanya pada beberapa titik saja.
“Setiap ada kampus, di sana akan muncul pergerakan ekonomi. Mobilitas mahasiswa yang tinggi dengan berbagai kegiatan di kampus dan di luar kampus juga menggerakkan sektor transportasi,” kata Sugeng.
Selain itu, terdapat pergeseran pola belajar mahasiswa yang dulu cuma di kampus dan bergeser ke indekos, saat ini banyak belajar di kafe-kafe. Perubahan pola belajar mahasiswa tersebut ikut mendorong perekonomian masyarakat.
Meski begitu, biaya internet yang dikeluarkan mahasiswa juga tidak langsung menurun. Dengan demikian, kata Sugeng, multiplayer effect keberadaan mahasiswa sangat besar bagi DIY.
“Saat pandemi, pergerakan dibatasi, kuliah online, beda sekali warnanya. Jadi ke depan, sebagai kota pelajar, potensi ini harus terus dirawat dan dikembangkan. Di sekeliling kampus itu pusat perekonomian, akses masyarakat menjadi pelaku usaha menjadi besar. Jadi sangat prospektif kalau dikelola dengan baik,” ujar Sugeng.
Keberadaan mahasiswa di DIY, lanjutnya, mulai mobilitas dan aktivitasnya akan menggerakkan sektor lain di luar kewajiban mereka membayar biaya SPP/UKT. Tetapi aktivitas kehidupan kalangan mahasiswa sehari-hari, sangat mewarnai pergerakan ekonomi DIY.
Ia memberi contoh, sejak pembelajaran tatap muka diberlakukan hampir setiap pekan digelar acara wisuda.
“Minimal yang datang saat wisuda ke Jogja tiga orang, seperti kedua orang tuanya. Mereka stay beberapa hari di Jogja. Mereka melakukan aktivitas ekonomi di Jogja. Kondisi ini berbeda saat pandemi yang (aktivitas pendidikan) digelar secara online, sangat berpengaruh kepada perekonomian di DIY,” kata Sugeng.
Yang menarik dan lepas dari pengamatan, lanjutnya, dari sisi inflasi di DIY dalam empat bulan terakhir. Saat kenaikan BBM pada April 2022, inflasi terus berlanjut hingga Juli. Hal berbeda terjadi saat kenaikan harga BBM pada September.
“Berbeda saat September, Oktober, November, Desember. September setelah BBM naik, inflasi naik, tapi berbeda Oktober. Meski Oktober inflasi yang lain-lain kecil, tapi disebabkan oleh biaya pendidikan. Ini satu-satunya di Indonesia, khas sekali,” katanya.
Selama pandemi atau dua tahun terakhir katanya, penyelenggara pendidikan tinggi menahan diri untuk tidak menaikkan biaya pendidikan. Berdasarkan data Susenas BPS 2021 untuk survei biaya pendidikan, mahasiswa di DIY all in menghabiskan dana rata-rata Rp21 juta pertahun atau Rp1,7 juta per bulan.
Jika diasumsikan jumlah mahasiswa di DIY 400.000 orang dengan biaya hidup rata-rata Rp1,7 juta per bulan maka perputaran dana dari kalangan mahasiswa sebesar Rp680 miliar. Jumlahnya bisa naik signifikan dengan asumsi BI di mana rata-rata konsumsi mahasiswa sebelum pandemi berkisar pada Rp3 juta per bulan.
“Ini nilai rata-rata biaya hidup ya, bisa lebih tinggi. Itu terdistribusi ke banyak sektor. Ini potensi besar yang perlu dirawat,” kata Sugeng.
Ke depan, lanjut Sugeng, pergerakan dan pertumbuhan ekonomi di DIY akan tetap ditopang oleh pariwisata dan pendidikan. Apalagi, kampus-kampus di DIY tersebar di banyak titik sehingga pertumbuhan ekonomi diharapkan tidak tumbuh hanya pada beberapa titik saja.
“Setiap ada kampus, di sana akan muncul pergerakan ekonomi. Mobilitas mahasiswa yang tinggi dengan berbagai kegiatan di kampus dan di luar kampus juga menggerakkan sektor transportasi,” katanya.
Selain itu, sambung Sugeng, pergeseran pola belajar mahasiswa yang dulu cuma di kampus, bergeser ke indekos saat ini mereka banyak belajar di kafe-kafe. Perubahan pola belajar mahasiswa tersebut ikut mendorong perekonomian masyarakat. Meski begitu, biaya internet yang dikeluarkan mahasiswa juga tidak langsung menurun. Dengan demikian, kata Sugeng, multiplayer effect keberadaan mahasiswa sangat besar bagi DIY.
“Saat pandemi, pergerakan dibatasi, kuliah online, beda sekali warnanya. Jadi ke depan, sebagai kota pelajar, potensi ini harus terus dirawat dan dikembangkan. Di sekeliling kampus itu pusat perekonomian, akses masyarakat menjadi pelaku usaha menjadi besar. Jadi sangat prospektif kalau dikelola dengan baik,” ujar Sugeng. ***










